Setelah sebelumnya berkunjung ke Pulau Handeleum, kini saatnya saya beserta rombongan mengunjungi Paniis. Paniis merupakan sebuah kampung wisata nan menawan yang
letaknya berada di kabupaten Pandeglang. Paniis menyimpan ragam pesona alam dan
wisata, yang membuat pengunjungnya akan merasa nyaman berada di sini.
Berada di Taman Jaya, kecamatan
Sumur, kabupaten Pandeglang membuat Paniis menjadi desa wisata menarik bagi
para wisatawan yang berkunjung ke Ujung Kulon. Sungguh beruntung, saya
(perwakilan VIVA.co.id) serta Word Wide Fund (WWF) dan media lainnya
mendapatkan kesempatan untuk berkunjung dan berkenalan dengan masyarakat yang
ada di kampung Paniis ini.
Sesampainya di kampung Paniis,
rombongan pun dibuat kagum dengan keasrian dan suasana perkampungan yang masih
kental. Udara dan pemandangan yang sejuk di pinggir pantai pun menyambut kami
dengan penuh kehangatan. Tak hanya disambut dengan
pemandangan yang asri dan sejuk di kampung Paniis, saya dan rombongan lainnya
pun disambut dengan baik oleh masyarakat dari kelompok Paniis Lestari.
Masyarakat dari kelompok Paniis Lestari mempersilahkan kami untuk beristirahat
sejenak di saung milik warga setempat, dengan ditemani 1 minuman batok kelapa
yang segar. Sembari beristirahat, kelompok
Paniis Lestari pun memperkenal keberadaannya di kampung ini. Paniis Lestari itu
sendiri adalah salah satu kelompok masyarakat penggerak ekowisata di bawah naungan World Wide Fund
(WWF) yang lokasinya berada di Ujung Kulon.
Markas dari kelompok Paniis Lestari
sendiri berada di kampung Paniis, desa Taman Jaya, kecamatan Sumur, kabupaten
Pandeglang. Sesuai dengan namanya, kampung Paniis memiliki arti sebagai tempat
yang menyejukan. Kelompok Paniis Lestari sendiri
memiliki keahlian khusus di bidang ekowisata bahari dan pelestarian ekosistem
laut. Maka tak heran, jika para anggota kelompok Paniis Lestari sangatlah
handal dalam bidang snorkeling, diving, dan pembudidayaan terumbu karang di
bawah laut.
Lupakan sejenak tentang kelompok
Paniis Lestari, setelah beberapa menit
beristirahat di saung yang telah disediakan oleh pihak Paniis Lestari. Kami dan rombongan pun langsung dibagikan
tempat untuk bermalam di kampung ini.
Kampung Paniis, ternyata sudah menyediakan banyak home stay atau rumah warga
untuk dijadikan tempat menginap para wisatawan yang berkunjung ke kampung
Paniis.
Langkah demi langkah,
mengantarkan saya dan lainnya ke rumah warga. Di mana, di rumah warga itulah
kami semua akan beristirhat dalam waktu semalam. Menuju ke rumah warga di
Paniis, rombongan pun disuguhkan oleh pemandangan Gunung Honje yang begitu
indah di belakang rumah warga. Udara sore yang asri dengan khas
suasana perkampungan pun menghatkan kami saat tiba di rumah warga. Untuk
rombongan perempuan akan menginap di home stay3, laki-laki di homestay 2, dan
khusus untuk makan akan disediakan di homestay 1.
Asli, di kampung Paniis ini saya
mendapatkan pengalaman baru lagi. Lagi
dan lagi, pengalaman baru selalu membuat kita merasa bangga. Menginap di rumah
warga menjadi salah satu pengalaman menarik yang baru pertama kali saya
rasakan. Dengan suasana kental perkampungan, mengingatkan saya dengan kampung
halaman.
Di mana, saat itu saya menginap di rumah teh
Iteung. Teh iteung sendiri tinggal bersama bapak dan anaknya. Terdapat 2 kamar
yang disediakan oleh pemilik rumah, di mana saya menginap bersama rombongan.
Menunggu sore berganti malam, kami pun berbincang-bincang dengan pemilik rumah.
Di depan rumah tersedia bale, di
situlah kita menikmati sore yang sejuk dengan berbincang-bincang seputar
kampung Paniis.
Pemilik rumah yang kami tempat begitu ramah dan baik. Mereka
pun tak segan-segan untuk menceritakan, kenapa rumahnya bisa dijadikan rumah
warga oleh Paniis Lestari. Setelah asyik berbincang-bincang
dan sembari menunggu giliran untuk membersihkan diri di kamar mandi. Akhirnya,
sore pun beganti jadi malam dan rombongan pun harus bersiap-siap menuju home
stay 1 untuk melakukan makan malam.
Makan malam yang disediakan benar-benar
khas makanan seperti berada di rumah, pokoknya nyaman dan benar-benar
menyenangkan. Setelah makan selesai, saya dan
rombongan pun bergegas untuk pergi ke lapangan yang letaknya dekat dengan saung,
di mana saat kita beristirahat tadi sore. Di lapangan milik kampung Paniis,
ternyata sudah disediakan tumpukan kayu-kayu untuk membuat api unggun dan juga
tempat untuk rombongan kami melihat pertunjukkan dari warga kampung Paniis.
Sebagai masyarakat yang mata
pencahariannya bertani, masyarakat kampung Paniis ternyata memiliki tradisi
unik yang dilakukan saat musim panen tiba. Di mana, masyarakat Paniss memiliki
suatu seni budaya unik yang selalu dilakukan setiap 1 tahun sekali. Seni budaya itu adalah tari Rengkong dan tari
Lesung. Tari-tarian inilah yang menjadi
pertunjukan menyenangkan bagi saya dan rombongan lainnya di malam itu.
“Tradisi tari Rengkong dan Lesung
menjadi salah satu warisan yang sudah secara turun temurun dilakukan di kampung
Paniis. Tradisi ini dilakukan untuk menyambut pesta panen tiba dan menjadi
tanda bersyukur kepada bumi dan alam, khususnya kepada sang Pencipta saat panen
tiba.”Ujar Doni, ketua kelompok Paniis Lestari.
Tarian ini menggunakan rengkong,
yang mana rengkong itu sendiri adalah sebuah alat yang terbuat dari bambu
dengan ukuran panjang mencapai 1,5 meter.
Setiap ujung alat ini akan diberi beban berupa padi yang telah
dihasilkan dari memanen. Berhubung musim
panen belum tiba, para penari pun menggunakan karung yang berisi pasir untuk
menggantikan padi.
Bambu dengan ukuran panjang 1,5
meter ini pun dipikul dan digoyang-goyangkan oleh para penarinya. Saat bambu digoyang-goyangkan, maka
terciptalah bunyi-bunyian unik yang menjadi salah satu ciri khas tarian
tersebut. Jika sebelumnya, masih menggunakan baju biasa. Kini, para penari
sengaja membuat baju untuk kostum saat menari. Para penari rengkong pun
menggunakan baju hitam, kain di kepala, dan kain yang diikatkan di pinggang, bak seorang pendekar.
Di sela-sela para laki-laki
menarikan tari rengkong, terdapat sekitar 10 penari dan 2 penyanyi yang umurnya
tidak muda lagi. Mereka adalah ibu-ibu tua yang masih semangat berbaris
memainkan tarian Lesung. Tarian ini menggunakan alat penumbuk padi yang
dinamakan alu. Sembari memukul-mukul
lesung (tempat menumbuk padi) secara bersama-bersama. ibu-ibu tua ini memainkan
tarian dengan harmonisisai yang cukup indah. Tak heran, perpaduan antara dua
tarian ini bisa menghasilkan harmonisasi yang begitu indah dan enak didengar.
Saat sedang asyik melihat
pertunjukkan tersebut, tiba-tiba saya pun ditarik dan diajak maju ke depan
untuk ikut menari oleh ibu tua yang sedang bernyanyi sambil menarikan tari
lesung. Sambil menari dan bernyanyi, ibu tua itu pun meminta saya untuk menari
dan menyawer dirinya. Hehhe, sungguh lucu dan senang dibuatnya saya.
Tak hanya menyanyi, saya pun
dibuat penasaran untuk memainkan alat tarian lesung. Dan langsung saja, saya
dan Nika (Tim WWF) pun mencoba alat penumbuk padi tersebut. Baru beberapa menit
saja mencoba, rasanya saya sudah dibuat lelah oleh alat penumpuk padi ini.
Berbeda dengan saya, ibu-ibu tua ini justru masih tersenyum dan bersemangat
menarikan dan menumbuk alat padi ini.
Tidak bisa dibayangkan, energi mereka
masih saja kuat meskipun sudah tua. Saya merasa malu, kenapa yang muda justru cepat
merasakan lelah hehe.. Setelah pertunjukan selasai, kami
pun kembali ke saung. Di saung, kami pun kembali diberikan hiburan oleh warga
setempat. Sambil menonton hiburan tersebut, tak lupa kami pun diberi sebatang
jagung bakar.
Tak terasa, waktu pun berputar
begitu cepat. Baru saja tiba di kampung ini, dan kami pun harus pergi
meninggalkannya kembali. Lantaran, kami harus pergi melakukan kegiatan baru di
Pulau Badul.
Sampai jumpa warga Paniis,
terimakasih untuk cerita dan pengalaman barunya J